Sabtu, 30 Agustus 2014

Goes Chapter 2

Hari baru disemester tujuh antara senang dan gugup. Senang karena akhirnya tanggung jawab akan segera purna dilanjurkan dengan mencari rizki untuk orang tua dan gugup akankah aku berhasil melewati satu tahun kedepan dengan siap dan matang.
Selain mntal percaya diri yang harus kupersiapkan, lingkungan yang baik dan kondusifpun juga sudah ditangan. Setelah kebingungan selama tiga tahun, ku putuskan setahun terakhir in harus dihabiskan dengan bermakna dan perbuhan besar. Bersama mereka aku akan belajar ilmu agama, sebagai pengobat haus kalbuku juga keikhlasan beribadah supaya allah mudahkan jalanku. Terakhir dengan ketekunan dan menghapus kemalan, insya allah jalan itu pasti allah bukakan.
Disini hal-hal baru kupelajari. Ada sholat berjamaah, mengaji bersama juga mempelajari tajiwid serta terjemahnya disini juga bergiliran memberikan kultum subuh dengan tema yang berbeda setiap hari. Aku yang kaku berbicara di depan umum harus siap-siap belajar dan mengamalkan agar ilmu ini tidak hilang dan menjadi manfaat.
Banyak kelebihan yang aku rasakan selain ruhiyah, jasmaniyah juga terpenuhi. Alhamdulillah uang saku setiap bulan bisa dihemat. Biasanya uang segitu hanya cukup untuk sewa kamar tapi sekarang malah cukup untuk makan dua kali sehari. aku juga jadi tidak malas untuk bersih-bersih karena ada piket menyamu dan mengepel juga memasak. Sungguh luar biasa.

Kami tinggal berlima disini, walaupun masih agak kaku karena baru mengenal tapi aku akan berusaha berkomunikasi dengan mereka. Wajib. Disamping kamarku ada mbah dul, beliau adalah orang tua perempuan dari pemilik rumah kontrakan. Beliau terkena stoke sejak bertahun-tahun lalu. Tak tega rasanya melihat mbah dul tetatih-tatih berjalan ke kamar mandi serta mencuci sendiri.


Goes Chapter 1

LDK, Pertama kali aku mendengar namanya sudah terbayang ketakutan akan sekumpulan muslimah berjubah panjang berwarna kelam, hitam abu-abu atau coklat dengan jilbab menjulur hingga ke pinggang. Atau anggota laki-lakinya dengan celana cingkrang dan berjenggot sangat khas sekali dengan ciri-ciri teroris yang sering ku tonton di telivisi. Sekumpulan anak masjid yang rajin sekali datang pagi-pagi menunggu di depan gedung registrasi mahasiswa baru yang akan memulai bangku perkuliahan. Sejak SMA aku sudah diwanti-wanti oleh guru maupun kenalan kakakku yang pernah menimba ilmu di kota ini agar aku berhati-hati dengan anak masjid. Jangan memakai pakaian yang akan mengundang mereka untuk mengajakmu ke masjid kalau bisa hindari ketika berjumpa dengan mereka.

Itu yang selalu tertanam di kedalaman lembah otak dan pemikiranku, tanpa mencari tahu kebenarannya aku meyakini apa yang merka katakan karena mereka lebih dewasa pasti benar dan lebih tahu. Selama kuliah hidupku statis, cukuplah hanya dengan sholat setiap hari walau kadang diakhir waktu dan sesekali membuka lembaran kitab suci beberapa minggu sekali.

Benar kata buku yang pernah kubaca, “jangan menilai kesalahan seseorang mewakili seluruh bagian kelompoknya, Dont judge book by the cover”. Pelajari dan selami dulu baru boleh menilai. Di ujung masa kuliah, sedikit pikiran ini terjernih. Dimulai dari pendekatan mengenai pemakmur masjid kota gudek Jogja, aku mulai tertarik dengan mereka. Sangat rela kuliah tertunda, asalkan bisa memperoleh ilmu yang benar-benar bermanfaat bagi umat, bahkan ada yang sudah berjanji kepada orang tuanya untuk terlambat lulus satu tahun. subhanllah, aku penasaran apa gerangan mereka rela padahal mahasiswa yang lain berlomba-lomba berpacu seperti kuda perang agar lulus secepa-cepatnya.

Pengalaman pertamaku ke masjid kampus, di awal tahun di sebuah masjid kecil di pelataran fakultas, mengajarkanku tentang najis, ilmu yang sudah lama tak ke dengar sejak ku tinggalkan Tsanawiyah. Tergerak hati ini, aku ingin belajar ilmu agama lagi, ilmu sudah lama tak ku dengar, denyut-denyut ilmu yang ku rindukan. Prosesny berlangsung sebentar, hanya 30 menit padahal aku ingin berlama-lama di masjid itu. Lama tak ku dengar temanku itu mengajak kembali ke masjid. Aku rindu, ingin memasuki rumah allah. Hari demi hari berganti, kenapa dia tidak mengajakku lagi. Hufft... L.

Sore hari di lobi kampus, datanglah teman yang lain menhampiriku, menawarkan datang ke majlis ilmu, datang pada mereka yang di awal kutakuti. Dia bahwan menawarkan untuk menjemputku, tak apa jika aku menggunakan celana bukan rok panjang yang sering mereka pakai. Awal tiba disana, aku kikuk. Hanya beberapa orang saja yang ku kenal. Sempat aku meremehkan mereka, ada seorang penceramah di depan majlis tapi kenapa mereka yang berjubah panjang ada yang tidak menyimak isi tausiyah. Kemuadian tak ku pedulikan mereka, biarlah aku ingin mendapatkan ilmu disini. Selesai majlis mataku berembun, inilah islam yang telah lama ku genggam tapi tak dikenal. Islam yang indah, dengan pegangan yang tidak akan membuat umatnya kebingungan mengenai dasar ilmu kehidupan. Sore itu, ku teguhkan perasaan ini. Saatnya berubah, membersihkan lumut dosa di sepanjang umur ini dan belajar bersama mereka tentang islam yang suci.

Jember, 19 Agustus 2014


surat cinta untuk dakwah chapter 1

Saat mendengar namanya tertarik bibir ini, mengembang senyum ini. Ingin rasanya masuk bersama mereka. Semangat juangnya, motivasi dakwahnya dan kekuatan tarbiyah yang menyatukan sejuta insan. Tiap kali mendengar alunan itu, saya tahu itu dia yang saya kagumi.
Dakwah ibarat sebuah ladang, bersegera menyemai bersama-sama menyiram. Tegaknya kaki melangkah menyusuri jalan dakwah. Melewati lumpur, belut dan duri. Manisnya dakwah jika sudah menyelami, memasuki keindahan jihad demi mensyiarkan agama allah.
janganlah kekaguman ini akan mengabu-abukan cintaku pada sang ilahi, tapi dengan namanya disebut malah mengingatkanku bahwa cinta yang sesungguhnya hanya untuk allah.
Biarlah saat ini masih belum ada peluang berjumpa, tapi berbagai media mempelajarinyapun sendiri saya harus bisa.
Seperti kata ustad Rahmad Abdullah, bahwa dakwah ini putuh perhatian, alunan sabar, dan untaian semangat menuntut serta berbagi ilmu.
Saya harus bisa, allah sudah membukakan jalan. Pilihan ada di genggaman ini, diam di temapt atau terus berjalan.
 Sebenarnya saya tidaklah pantai berkata-kata, hafalanpun tak punya, tapi saya punya semangat. Saya juga ingin terjun di medan itu, semoga allah membukakan pintu untuk saya tetap istiqomah.